Lontar (Borassus Sundaicus Beccari) adalah tanaman penghasil gula paling efisien di dunia. Lontar termasuk tanaman berkelamin ganda. Mayang jantan muncul dari pucuk lontar berupa tunas-tunas bercabang tajam berpasangan. Mayang betina menghasilkan tandan-tandan berisi buah. Buah lontar di luar Rote dan Sabu dikenal dengan nama siwalan, terutama di Jawa. Di Jawa, buah lontar lebih banyak di panen dibandingkan disadap niranya. Sebaliknya buah siwalan jarang ditemui di Rote dan Sabu akibat penyadapan nira yang memotong mayang jantan sehingga tidak menghasilkan buah.
Buah lontar atau siwalan termasuk sulit didapat di Indonesia, kalaupun ada tidak dijajakan secara khusus seperti pada musim buah durian atau rambutan. Buahnya kenyal dan manis hampir seperti kolang-kaling. Di Jakarta setahu penulis siwalan dijajakan di daerah Pasar Baru dan Ancol. Di pasar-pasar tradisional di Jakarta sulit dijumpai penjaja siwalan, terlebih lagi di supermarket. Sebaliknya, kabar dari seorang teman, Thailand malah sudah mengalengkan siwalan sebagai komoditi ekspornya.
Pohon lontar disebut Due dalam bahasa Sabu, buah mudanya disebut Wohiru, dan buah yang telah tua disebut Wokeli. Pengambilan nira adalah proses memotong untaian bunga jantan setahap demi setahap setiap hari. Dalam dua bulan dapat dihasilkan nira sebanyak 3-5 liter, bahkan seorang yang ahli memanen dapat menghasilkan 10 liter perpohon. Penyadap nira yang terampil dapat menyadap dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa ia harus turun dari pohon.
Menurut penelitian James Fox, praktek pengambilan Nira di Rote menghasilkan jumlah nira yang beragam selama satu musim. Namun jumlah nira sangat ditentukan oleh jumlah mayang yang disadap. Sebatang lontar dengan lima mayang mampu menghasilkan 6,7 liter nira sehari atau 47 liter seminggu. Diakhir masa penyadapan sebatang pohon lontar dengan satu mayang masih dapat menghasilkan nira 2,25 liter perhari atau 15 liter seminggu.
Hasil gula nira di Sabu disebut Donahu, sedangkan setelah dimasak hingga menjadi gula padat disebut Domegeru. Cara masak nira orang Sabu dan Rote tidaklah sama. Orang Sabu memasak lebih lama, sehingga gula menjadi lebih hitam dan kental, sedangkan orang Rote memasak nira dengan perubahan hanya 15% saja.
Perbanyakan pohon lontar kebanyakan terjadi secara alami. Biji yang tua dibiarkan di sekitar pohon, lalu terbawa aliran air ketika hujan, atau dibawa hewan liar, dan tumbuh pada tempat-tempat di sekitar kebun. Adapula orang mengambil bibit itu lalu menanamnya ditempat yang ia kehendaki. Pada usia 5 tahun lontar baru siap di panen. Umur pohon lontar sangat panjang. Seorang Sabu yang saya temui, Matheus Liwerohi, mengatakan bahwa ia mewarisi kebun lontar yang telah berusia tiga generasi sejak jaman kakeknya, dan hingga kini masih diambil niranya.
Gula nira kental merupakan bahan pangan yang umum dikonsumsi orang Sabu dan Rote. Jagung atau rebusan daun singkong atau sayur-sayuran lainnya cukup “dicolek” seperti makan lalap dan sambal. Minumnya pun air nira. “Badan jadi sehat dan bertenaga”, kata Matheus menyakinkan saya.
Selain diolah sebagai gula padat, nira juga dibuat minuman tuak atau disebut sopie. Nira dicampur air dan bahan-bahan akar tumbuhan tertentu direndam satu malam dan ditutup rapat agar terjadi fermentasi. Kemudian hasilnya disuling [direbus dalam nyala api kecil dan uapnya dialirkan melalui pipa dan ditampung].
Cuka nira juga dibuat orang Sabu dan Rote. Cara membuatnya lebih mudah lagi. Cukup masukan nira dalam wadah semacam jerigen dan ditutup rapat hingga satu bulan. Cuka nira ini merupakan bumbu yang sedap untuk memasak. Ikan sebelum digoreng cukup dicelup nira. Cuka nira hanya dibuat untuk keperluan memasak keluarga, karena waktu pembuatan yang cukup lama tidak segera menghasilkan uang, bila dibandingkan dengan memproduksi air nira atau gula.
Search Enguine
Senin, 08 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar