Bali menghasilkan 427,3 ton daun lontar selama tahun 2008, yang merupakan hasil panenan dari kebun produktif seluas 1.569 hektar. Bali kini memiliki kebun pohon lontar seluas 2.043 hektar, namun 437 hektar di antaranya merupakan tanaman muda yang belum menghasilkan dan 7 hektar tanaman tua. Ini dikatakan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali Ir Gede Ardhana di Denpasar.
Ia mengatakan, tanaman bernilai ekonomi tinggi itu hanya terdapat di daerah kritis Kabupaten Karangasem seluas 1.861 hektar dan di Kabupaten Buleleng 182 hektar. Untuk Kabupaten Karangasem, Bali timur, pohon lontar sebagian besar terdapat di Kecamatan Kubu (1.665 hektar), Kecamatan Abang (175 ha), dan Kecamatan Karangasem (21 ha). Di Kabupaten Buleleng hanya terdapat di Kecamatan Kubutambahan (37 ha) dan Kecamatan Tejakula (145 ha). Gede Ardhana menambahkan, perkebunan lontar tersebut melibatkan 7.873 kepala keluarga.
Daun lontar tersebut seperti halnya janur daun kelapa muda sangat diperlukan masyarakat Bali untuk kelengkapan kegiatan ritual dan adat di Pulau Dewata. Selain itu, sebagai bahan baku pembuatan berbagai jenis cinderamata, hasil sentuhan perajin dan seniman ini diminati wisatawan saat berlibur di Bali.
Sebagian masyarakat Bali memiliki keterampilan menulis dan melukis di atas daun lontar sehingga seni lontar yang menjadi warisan seni dan budaya itu tetap lestari.
Menurut dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Drs Windhu Sancaya, menulis dan melukis di atas daun lontar memerlukan ketekunan, ketelitian dan kesabaran, selain adanya bahan baku dalam jumlah yang memadai. Keahlian tersebut diwarisi masyarakat di daerah kawasan wisata yang cukup berkembang, antara lain Ubud, Gianyar, desa tradisional Tenganan, Karangasem, dan sebagian masyarakat Buleleng dan daerah lainnya di Bali.
Seniman mengkhususkan diri menulis dan melukis di atas daun lontar itu dengan cara meniru tulisan lontar yang sudah ada atau melukis dari inspirasi yang muncul dari seniman bersangkutan. Hasil karya mereka itu mampu sebagai cinderamata yang banyak diminati wisatawan mancanegara maupun oleh masyarakat setempat yang mulai menyenangi dan mendalami seni sastra daerah. "Kondisi demikian menjadikan lontar-lontar lama warisan dari lelulur tetap utuh, sedangkan yang dijual sebagai cinderamata ke luar negeri adalah karya seni," tutur Windhu Sancaya.
Windhu Sancaya yang pernah melakukan penelitian dan kajian terhadap lontar Bali menilai, ketersediaannya bahan baku lontar dan sumber daya manusia yang andal dalam menulis lontar menjadi faktor yang sangat penting dalam melestarikan dan mempertahankan lontar yang syarat dengan ajaran filsafat.
Daun lontar yang sudah tua setelah melalui proses pengolahan sedemikian rupa dapat bertahan lama dan tidak rusak dimakan rayap, asal pemeliharaannya dilakukan dengan bagus. Lontar yang terpelihara dengan baik dapat bertahan lebih dari seratus tahun.
Search Enguine
Senin, 08 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar