Spesies : Borassus flabellifer Linn.
Nama Inggris : Toddy palm, Wine palm, Palmyra palm.
Nama Indonesia : Lontar
Nama Lokal : Lontar, Tal, Siwalan (Jawa), Siwalan (Sumatera), tala (Sulawesi).
Deskripsi : Palem yang mempunyai batangtunggal, dapat mencapai tinggi 30 m ini berbatang kasap, agak kehitam-hitaman, dengan penebalan sisa pelepah daun di bagian bawah. Tajuknya rimbun dan membulat, daun-daun tuanya terkulai tetapi tetap melekat di ujung batang. Pelepah pendek, agak jingga, bercelah dipangkal, berijuk. Pelepah dan tangkai daun tepinya berduri hitam tidak teratur. Daun seperti kipas, bundar, kaku, bercangap menjari, hijau keabu-abuan. Perbungaan berumah dua, menerobos celah pelepah, menggantung. Bunga betinanya kadang-kadang bercabang sedang bunga jantan bercabang banyak. Bunga berwama putih susu, berkelompok, tertanam pada tongkolnya. Buah agak bulat, bergaris tengah 7 - 20 cm, ungu tua sampai hitam, pucuknya kekuningan. Buah berisi 3 bakal biji. Daging buah muda warna putih kaca/transparan, daging buah dewasa/tua warna kuning kemudian berubah menjadi serabut.
Distribusi/Penyebaran : Penyebarannya luas, di tempat-tempat yang kering seperti di India, Thailand, Jawa Timur, Indonesia timur dan pulau-pulau di Pasifik.
Habitat : Tumbuh di dataran rendah dan daerah pantai sampai pegunungan (0 - 800 m dpl.), suhu optimum untuk pertumbuhan ± 30 derajat Celcius, mudah beradaptasi di daerah kering, curah hujan 500 - 5000 mm per tahun.
Perbanyakan : Perbanyakan lontar adalah melalui bijinya, sama halnya seperti kelapa atau dengan anakan yang tumbuh di bawah pohon induknya, pada lontar yang berbentuk terlebih dulu adalah akarnya. Di Indonesia, luas penanaman sekitar 15000 hektar terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura. Selain itu ada juga kebun lontar di Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya tetapi tidak diketahui dengan pasti luasnya.
Manfaat tumbuhan : Ketika masih muda daging bijinya masih lembut dan dapat dimakan. Pohon Lontar juga merupakan sumber karbohidrat. Sedangkan daun maupun bagian lain dari pohon ini dimanfaatkan masyarakat untuk membuat kerajinan yang digunakan untuk keperluan sehari-hari. Air tampungan dari bunganya dapat dibuat minuman lontar, bila difermentasikan dapat dibuat minuman beralkohol dan cuka. Gula yang dihasilkan oleh pohon lontar dipakai untuk pewarna coklat pada makanan. Selain itu gula tersebut dipakai juga untuk nyareni (memperkuat warna alami). Ketika masih muda daging bijinya masih lembut dan dapat dimakan. Pohon Lontar juga merupakan sumber karbohidrat. Sinonim : Borassus flabelliformis L. (1774).
Kategori : Pemanis alami
Search Enguine
Senin, 08 Februari 2010
Manfaat Daun Lontar bagi Orang Bali
Bali menghasilkan 427,3 ton daun lontar selama tahun 2008, yang merupakan hasil panenan dari kebun produktif seluas 1.569 hektar. Bali kini memiliki kebun pohon lontar seluas 2.043 hektar, namun 437 hektar di antaranya merupakan tanaman muda yang belum menghasilkan dan 7 hektar tanaman tua. Ini dikatakan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali Ir Gede Ardhana di Denpasar.
Ia mengatakan, tanaman bernilai ekonomi tinggi itu hanya terdapat di daerah kritis Kabupaten Karangasem seluas 1.861 hektar dan di Kabupaten Buleleng 182 hektar. Untuk Kabupaten Karangasem, Bali timur, pohon lontar sebagian besar terdapat di Kecamatan Kubu (1.665 hektar), Kecamatan Abang (175 ha), dan Kecamatan Karangasem (21 ha). Di Kabupaten Buleleng hanya terdapat di Kecamatan Kubutambahan (37 ha) dan Kecamatan Tejakula (145 ha). Gede Ardhana menambahkan, perkebunan lontar tersebut melibatkan 7.873 kepala keluarga.
Daun lontar tersebut seperti halnya janur daun kelapa muda sangat diperlukan masyarakat Bali untuk kelengkapan kegiatan ritual dan adat di Pulau Dewata. Selain itu, sebagai bahan baku pembuatan berbagai jenis cinderamata, hasil sentuhan perajin dan seniman ini diminati wisatawan saat berlibur di Bali.
Sebagian masyarakat Bali memiliki keterampilan menulis dan melukis di atas daun lontar sehingga seni lontar yang menjadi warisan seni dan budaya itu tetap lestari.
Menurut dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Drs Windhu Sancaya, menulis dan melukis di atas daun lontar memerlukan ketekunan, ketelitian dan kesabaran, selain adanya bahan baku dalam jumlah yang memadai. Keahlian tersebut diwarisi masyarakat di daerah kawasan wisata yang cukup berkembang, antara lain Ubud, Gianyar, desa tradisional Tenganan, Karangasem, dan sebagian masyarakat Buleleng dan daerah lainnya di Bali.
Seniman mengkhususkan diri menulis dan melukis di atas daun lontar itu dengan cara meniru tulisan lontar yang sudah ada atau melukis dari inspirasi yang muncul dari seniman bersangkutan. Hasil karya mereka itu mampu sebagai cinderamata yang banyak diminati wisatawan mancanegara maupun oleh masyarakat setempat yang mulai menyenangi dan mendalami seni sastra daerah. "Kondisi demikian menjadikan lontar-lontar lama warisan dari lelulur tetap utuh, sedangkan yang dijual sebagai cinderamata ke luar negeri adalah karya seni," tutur Windhu Sancaya.
Windhu Sancaya yang pernah melakukan penelitian dan kajian terhadap lontar Bali menilai, ketersediaannya bahan baku lontar dan sumber daya manusia yang andal dalam menulis lontar menjadi faktor yang sangat penting dalam melestarikan dan mempertahankan lontar yang syarat dengan ajaran filsafat.
Daun lontar yang sudah tua setelah melalui proses pengolahan sedemikian rupa dapat bertahan lama dan tidak rusak dimakan rayap, asal pemeliharaannya dilakukan dengan bagus. Lontar yang terpelihara dengan baik dapat bertahan lebih dari seratus tahun.
Ia mengatakan, tanaman bernilai ekonomi tinggi itu hanya terdapat di daerah kritis Kabupaten Karangasem seluas 1.861 hektar dan di Kabupaten Buleleng 182 hektar. Untuk Kabupaten Karangasem, Bali timur, pohon lontar sebagian besar terdapat di Kecamatan Kubu (1.665 hektar), Kecamatan Abang (175 ha), dan Kecamatan Karangasem (21 ha). Di Kabupaten Buleleng hanya terdapat di Kecamatan Kubutambahan (37 ha) dan Kecamatan Tejakula (145 ha). Gede Ardhana menambahkan, perkebunan lontar tersebut melibatkan 7.873 kepala keluarga.
Daun lontar tersebut seperti halnya janur daun kelapa muda sangat diperlukan masyarakat Bali untuk kelengkapan kegiatan ritual dan adat di Pulau Dewata. Selain itu, sebagai bahan baku pembuatan berbagai jenis cinderamata, hasil sentuhan perajin dan seniman ini diminati wisatawan saat berlibur di Bali.
Sebagian masyarakat Bali memiliki keterampilan menulis dan melukis di atas daun lontar sehingga seni lontar yang menjadi warisan seni dan budaya itu tetap lestari.
Menurut dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Drs Windhu Sancaya, menulis dan melukis di atas daun lontar memerlukan ketekunan, ketelitian dan kesabaran, selain adanya bahan baku dalam jumlah yang memadai. Keahlian tersebut diwarisi masyarakat di daerah kawasan wisata yang cukup berkembang, antara lain Ubud, Gianyar, desa tradisional Tenganan, Karangasem, dan sebagian masyarakat Buleleng dan daerah lainnya di Bali.
Seniman mengkhususkan diri menulis dan melukis di atas daun lontar itu dengan cara meniru tulisan lontar yang sudah ada atau melukis dari inspirasi yang muncul dari seniman bersangkutan. Hasil karya mereka itu mampu sebagai cinderamata yang banyak diminati wisatawan mancanegara maupun oleh masyarakat setempat yang mulai menyenangi dan mendalami seni sastra daerah. "Kondisi demikian menjadikan lontar-lontar lama warisan dari lelulur tetap utuh, sedangkan yang dijual sebagai cinderamata ke luar negeri adalah karya seni," tutur Windhu Sancaya.
Windhu Sancaya yang pernah melakukan penelitian dan kajian terhadap lontar Bali menilai, ketersediaannya bahan baku lontar dan sumber daya manusia yang andal dalam menulis lontar menjadi faktor yang sangat penting dalam melestarikan dan mempertahankan lontar yang syarat dengan ajaran filsafat.
Daun lontar yang sudah tua setelah melalui proses pengolahan sedemikian rupa dapat bertahan lama dan tidak rusak dimakan rayap, asal pemeliharaannya dilakukan dengan bagus. Lontar yang terpelihara dengan baik dapat bertahan lebih dari seratus tahun.
Menyadap Nira Lontar, Menenggak Rupiah
Pernahkah suatu ketika anda melintas di kota Tuban dan beristirahat sejenak lalu mencoba mencicipi minuman khas sana yang sering disebut legen atau nira lontar? Saran saya, berhati-hatilah, karena alih-alih ingin meneguk segarnya air nira, salah-salah anda malah sakit perut atau menjadi batuk karena gatalnya kerongkongan anda. Jika anda ingin menikmati minuman tersebut dengan aman dan nikmat, cobalah masuk ke pelosok-pelosok kampung dan carilah penyadap yang baru menurunkan bumbung air nira dari pohon lontar.
Beberapa oknum pedagang seringkali mencampur nira lontar dengan air-biasanya menggunakan air mentah-dengan konsentrasi hingga 5:100. Artinya dalam 100 liter ‘nira’ yang dijual, hanya terdapat 5 liter nira asli yang benar-benar disadap dari pohon lontar. Memang, selain lebih murah, nira tersebut menjadi tidak lekas basi sehingga dapat disimpan berhari-hari. Padahal nira asli tidak akan bertahan lebih dari 10 jam, karena bila lewat dari tempo tersebut, air nira akan berbusa, berasa masam dan mengeluarkan bau yang bisa-bisa membuat anda muntah.
Sebenarnya, tanpa mencampur dengan air, nira memberikan keuntungan ekonomi sangat menggiurkan. Sebatang pohon lontar produktif yang terpelihara dengan baik, dapat menghasilkan 3-5 liter air nira sehari, dipanen 2 kali pagi dan sore. Dengan harga per liter di tingkat penyadap Rp1.000-harga yang lebih murah dibanding air mineral dalam kemasan- satu pohon dapat menghasilkan Rp3.000-Rp5.000 per hari.
Seorang petani kecil yang hanya mempunyai 20 pohon lontar saja, dengan tanaman produktif 12 pohon, maka dalam sehari dia mampu menangguk penghasilan hingga Rp36.000-Rp60.000 sehari dengan jam kerja kurang dari 4 jam. Bila dia menyadap kepunyaaan orang lain, maka bagi hasil yang umum disepakati adalah 6:1 dengan penyadap mendapat porsi yang lebih besar. Disela-sela waktu sadapnya, penyadap dapat melakukan pekerjaan lain seperti berkebun, mengolah sawah dan lain-lain sehingga mendapatkan penghasilan yang lebih besar.
Angka tersebut barulah hitungan kasar, yang tidak memasukkan nilai tanaman lain seperti padi, palawija atau buah-buahan, karena tanaman lontar umumnya dibudidayakan secara tumpangsari sehingga sangat sesuai untuk pengembangan sistem agroforestry. Pohon lontar dapat ditanam di pinggir-pingir sawah atau sering disebut galengan dengan jarak tanam optimum 5 meter. Keunggulan jenis ini dibanding dengan tanaman lain semisal kelapa adalah akarnya yang sempit dengan sedikit serabut sehingga tidak terlalu menghabiskan banyak tempat.
Nira lontar dapat diolah menjadi beberapa produk turunan seperti gula dan tuak (alkohol). Gula lontar memiliki citarasa yang berbeda jika dibandingkan dengan gula tebu, gula aren atau gula kelapa dengan rasa legit dan sedikit masam. Untuk menghasilkan 1 kg gula lontar seharga Rp5.000, dibutuhkan air nira sebanyak 6-7 liter dengan waktu olah 3-4 jam. Kurang menguntungkan jika dibandingkan menjual langsung dalam bentuk nira segar atau legen.
Potensi lain yang masih bisa dimanfaatkan adalah daun lontarnya dapat digunakan sebagai bahan baku kerajinan atau souvenir. Para pengrajin biasa membeli dengan harga Rp1.200 tiap setengah pelepah. Dalam 1 tangkai pelepah hanya setengah sisi saja yang dapat dimanfaatkan karena sisi yang lain tertekuk.
Buah lontar yang masih muda dapat dijual sebagai buah segar dengan harga Rp500 per buah. Dalam 1 buah terdapat 3 biji (tempurung) dimana didalamnya berisi daging buah berwarna putih segar dengan tekstur lembut dan sedikit kenyal seperti kelapa muda atau aren. Beberapa asam amino yang terkandung di dalamnya antara lain alanin, serin, arginin dan glutamin.
Sedangkan buah yang tua, atau sering disebut keling, masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal seperti jenis-jenis palem yang lain seperti kelapa sawit atau kelapa, daging buahnya dapat diolah menjadi minyak goreng. Tandan bunganya bahkan dapat digunakan sebagai obat pegal linu. Selain itu masih banyak kegunaan tanaman yang di India disebut pohon dengan 800 manfaat ini.
Secara agronomi, budidaya lontar tidaklah terlalu sulit. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah kering berpasir hingga ketinggian 800 m diatas permukaan laut bahkan di kawasan-kawasan dimana jenis palem produktif lain seperti aren atau kelapa tidak mampu berkompetisi. Jenis dengan nama latin Borassus flabellifer ini juga sangat mudah beradaptasi, tahan terhadap kekeringan dan mampu bertahan dengan curah hujan 500-900 mm per tahun.
Perbanyakan umumnya menggunakan biji dengan cara langsung meletakkannya ke tanah tanpa menyemainya terlebih dahulu. Bibit lontar amat sensitif karena memindahkan pada saat telah menjadi semai (tanaman muda) sangatlah sulit dan rawan mati. Lontar akan mulai berbunga dan berbuah pada umur 12-20 tahun, biasanya pada musim kemarau. Untuk menyadap nira, tangkai bunga disayat tipis melintang, lalu diletakkan bumbung pada ujung sayatan untuk menampung cairan nira yang menetes. Sebelumnya, bumbung harus sibersihkan dengan air panas, dibubuhi kapur halus (enjet) dan dipasangi laru (semacam serambut) untuk menyaring tetesan nira.
Meskipun lontar memiliki beragam potensi yang sedemikian besar, hal tersebut tidak serta merta membuat masyarakat tertarik untuk membudidayakannya. Khusus di Kabupaten Tuban yang merupakan kawasan dengan populasi lontar terbesar di Pulau Jawa, keberadaan tanaman ini perlu mendapat perhatian khusus. Banyak pohon lontar produktif yang ditebangi, sedangkan tanaman mudanya tidak terpelihara dan bahkan cenderung dimatikan oleh masyarakat setempat. Keadaan ini mengakibatkan jumlah populasinya turun drastis sehingga dikhawatirkan akan mengalami pelangkaan. Padahal dahulu, Indonesia dengan kerajaan Majapahitnya pernah tercatat sebagai negara pengekspor daun lontar terbesar di dunia.
Permasalahan yang terjadi adalah mulai bergesernya nilai-nilai sosial terutama di kalangan anak-anak muda. Generasi muda di sana mulai enggan memanjat pohon lontar karena pekerjaan tersebut harus berkotor-kotor sehingga dianggap tidak memiliki gengsi. Para pemuda lebih memilih merantau ke kota besar atau menjadi TKI ke luar negeri meskipun pekerjaan yang dijalani umumnya adalah buruh kasar. Pekerjaan menyadap nira saat ini hanya dilakukan oleh generasi tua yang berusia di atas 40 tahun, padahal dahulu hampir seluruh penduduk Tuban mampu dan mau memanjat karena kebanyakan hidup mereka ditopang oleh hasil pohon lontar. (S. Budiharta)
Beberapa oknum pedagang seringkali mencampur nira lontar dengan air-biasanya menggunakan air mentah-dengan konsentrasi hingga 5:100. Artinya dalam 100 liter ‘nira’ yang dijual, hanya terdapat 5 liter nira asli yang benar-benar disadap dari pohon lontar. Memang, selain lebih murah, nira tersebut menjadi tidak lekas basi sehingga dapat disimpan berhari-hari. Padahal nira asli tidak akan bertahan lebih dari 10 jam, karena bila lewat dari tempo tersebut, air nira akan berbusa, berasa masam dan mengeluarkan bau yang bisa-bisa membuat anda muntah.
Sebenarnya, tanpa mencampur dengan air, nira memberikan keuntungan ekonomi sangat menggiurkan. Sebatang pohon lontar produktif yang terpelihara dengan baik, dapat menghasilkan 3-5 liter air nira sehari, dipanen 2 kali pagi dan sore. Dengan harga per liter di tingkat penyadap Rp1.000-harga yang lebih murah dibanding air mineral dalam kemasan- satu pohon dapat menghasilkan Rp3.000-Rp5.000 per hari.
Seorang petani kecil yang hanya mempunyai 20 pohon lontar saja, dengan tanaman produktif 12 pohon, maka dalam sehari dia mampu menangguk penghasilan hingga Rp36.000-Rp60.000 sehari dengan jam kerja kurang dari 4 jam. Bila dia menyadap kepunyaaan orang lain, maka bagi hasil yang umum disepakati adalah 6:1 dengan penyadap mendapat porsi yang lebih besar. Disela-sela waktu sadapnya, penyadap dapat melakukan pekerjaan lain seperti berkebun, mengolah sawah dan lain-lain sehingga mendapatkan penghasilan yang lebih besar.
Angka tersebut barulah hitungan kasar, yang tidak memasukkan nilai tanaman lain seperti padi, palawija atau buah-buahan, karena tanaman lontar umumnya dibudidayakan secara tumpangsari sehingga sangat sesuai untuk pengembangan sistem agroforestry. Pohon lontar dapat ditanam di pinggir-pingir sawah atau sering disebut galengan dengan jarak tanam optimum 5 meter. Keunggulan jenis ini dibanding dengan tanaman lain semisal kelapa adalah akarnya yang sempit dengan sedikit serabut sehingga tidak terlalu menghabiskan banyak tempat.
Nira lontar dapat diolah menjadi beberapa produk turunan seperti gula dan tuak (alkohol). Gula lontar memiliki citarasa yang berbeda jika dibandingkan dengan gula tebu, gula aren atau gula kelapa dengan rasa legit dan sedikit masam. Untuk menghasilkan 1 kg gula lontar seharga Rp5.000, dibutuhkan air nira sebanyak 6-7 liter dengan waktu olah 3-4 jam. Kurang menguntungkan jika dibandingkan menjual langsung dalam bentuk nira segar atau legen.
Potensi lain yang masih bisa dimanfaatkan adalah daun lontarnya dapat digunakan sebagai bahan baku kerajinan atau souvenir. Para pengrajin biasa membeli dengan harga Rp1.200 tiap setengah pelepah. Dalam 1 tangkai pelepah hanya setengah sisi saja yang dapat dimanfaatkan karena sisi yang lain tertekuk.
Buah lontar yang masih muda dapat dijual sebagai buah segar dengan harga Rp500 per buah. Dalam 1 buah terdapat 3 biji (tempurung) dimana didalamnya berisi daging buah berwarna putih segar dengan tekstur lembut dan sedikit kenyal seperti kelapa muda atau aren. Beberapa asam amino yang terkandung di dalamnya antara lain alanin, serin, arginin dan glutamin.
Sedangkan buah yang tua, atau sering disebut keling, masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal seperti jenis-jenis palem yang lain seperti kelapa sawit atau kelapa, daging buahnya dapat diolah menjadi minyak goreng. Tandan bunganya bahkan dapat digunakan sebagai obat pegal linu. Selain itu masih banyak kegunaan tanaman yang di India disebut pohon dengan 800 manfaat ini.
Secara agronomi, budidaya lontar tidaklah terlalu sulit. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah kering berpasir hingga ketinggian 800 m diatas permukaan laut bahkan di kawasan-kawasan dimana jenis palem produktif lain seperti aren atau kelapa tidak mampu berkompetisi. Jenis dengan nama latin Borassus flabellifer ini juga sangat mudah beradaptasi, tahan terhadap kekeringan dan mampu bertahan dengan curah hujan 500-900 mm per tahun.
Perbanyakan umumnya menggunakan biji dengan cara langsung meletakkannya ke tanah tanpa menyemainya terlebih dahulu. Bibit lontar amat sensitif karena memindahkan pada saat telah menjadi semai (tanaman muda) sangatlah sulit dan rawan mati. Lontar akan mulai berbunga dan berbuah pada umur 12-20 tahun, biasanya pada musim kemarau. Untuk menyadap nira, tangkai bunga disayat tipis melintang, lalu diletakkan bumbung pada ujung sayatan untuk menampung cairan nira yang menetes. Sebelumnya, bumbung harus sibersihkan dengan air panas, dibubuhi kapur halus (enjet) dan dipasangi laru (semacam serambut) untuk menyaring tetesan nira.
Meskipun lontar memiliki beragam potensi yang sedemikian besar, hal tersebut tidak serta merta membuat masyarakat tertarik untuk membudidayakannya. Khusus di Kabupaten Tuban yang merupakan kawasan dengan populasi lontar terbesar di Pulau Jawa, keberadaan tanaman ini perlu mendapat perhatian khusus. Banyak pohon lontar produktif yang ditebangi, sedangkan tanaman mudanya tidak terpelihara dan bahkan cenderung dimatikan oleh masyarakat setempat. Keadaan ini mengakibatkan jumlah populasinya turun drastis sehingga dikhawatirkan akan mengalami pelangkaan. Padahal dahulu, Indonesia dengan kerajaan Majapahitnya pernah tercatat sebagai negara pengekspor daun lontar terbesar di dunia.
Permasalahan yang terjadi adalah mulai bergesernya nilai-nilai sosial terutama di kalangan anak-anak muda. Generasi muda di sana mulai enggan memanjat pohon lontar karena pekerjaan tersebut harus berkotor-kotor sehingga dianggap tidak memiliki gengsi. Para pemuda lebih memilih merantau ke kota besar atau menjadi TKI ke luar negeri meskipun pekerjaan yang dijalani umumnya adalah buruh kasar. Pekerjaan menyadap nira saat ini hanya dilakukan oleh generasi tua yang berusia di atas 40 tahun, padahal dahulu hampir seluruh penduduk Tuban mampu dan mau memanjat karena kebanyakan hidup mereka ditopang oleh hasil pohon lontar. (S. Budiharta)
Pemanfaatan Tanaman Lontar
Daun Lontar (Borassus flabellifer) digunakan sebagai media penulisan naskah lontar dan bahan kerajinan seperti kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan untuk pakaian dan sasando, alat musik tradisional di Timor.
Tangkai dan pelepah pohon Siwalan (Lontar atau Tal) dapat menhasilkan sejenis serat yang baik. Pada masa silam, serat dari pelepah Lontar cukup banyak digunakan di Sulawesi Selatan untuk menganyam tali atau membuat songkok, semacam tutup kepala setempat.
Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan.
Dari karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) dapat disadap untuk menghasilkan nira lontar (legen). Nira ini dapat diminum langsung sebagai legen (nira) juga dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi menjadi tuak, semacam minuman beralkohol.
Buahnya, terutama yang muda, banyak dikonsumsi. Biji Lontar yang lunak ini kerap diperdagangkan di tepi jalan sebagai “buah siwalan” (nungu, bahasa Tamil). Biji siwalan ini dipotong kotak-kotak kecil untuk bahan campuran minuman es dawet siwalan yang biasa didapati dijual didaerah pesisir Jawa Timur, Paciran, Tuban.
Daging buah yang tua, yang kekuningan dan berserat, dapat dimakan segar ataupun dimasak terlebih dahulu. Cairan kekuningan darinya diambil pula untuk dijadikan campuran penganan atau kue-kue; atau untuk dibuat menjadi selai.
Manfaat Tanaman Lontar :
Tangkai dan pelepah pohon Siwalan (Lontar atau Tal) dapat menhasilkan sejenis serat yang baik. Pada masa silam, serat dari pelepah Lontar cukup banyak digunakan di Sulawesi Selatan untuk menganyam tali atau membuat songkok, semacam tutup kepala setempat.
Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan.
Dari karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) dapat disadap untuk menghasilkan nira lontar (legen). Nira ini dapat diminum langsung sebagai legen (nira) juga dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi menjadi tuak, semacam minuman beralkohol.
Buahnya, terutama yang muda, banyak dikonsumsi. Biji Lontar yang lunak ini kerap diperdagangkan di tepi jalan sebagai “buah siwalan” (nungu, bahasa Tamil). Biji siwalan ini dipotong kotak-kotak kecil untuk bahan campuran minuman es dawet siwalan yang biasa didapati dijual didaerah pesisir Jawa Timur, Paciran, Tuban.
Daging buah yang tua, yang kekuningan dan berserat, dapat dimakan segar ataupun dimasak terlebih dahulu. Cairan kekuningan darinya diambil pula untuk dijadikan campuran penganan atau kue-kue; atau untuk dibuat menjadi selai.
Manfaat Tanaman Lontar :
- Air Sedapan (Nira) bisa dibuat : Alkohol Medick,Bio Etanol,Kecap Asin & Manis,Gula Batu, Gula Merah,dlll
- Daun : untuk Souvenir, Tikar,Lintingan Rokok,Atap Rumah,wadah alat musik sasando
- Batang : bahan bangunan Rumah
- Manfaat Damar ( jarak Putih) : Bio Etanol, obat tradisional, tanaman pagar pelindung.
Pohon Siwalan (Lontar), Flora Identitas Sulawesi Selatan
Pohon Siwalan atau disebut juga Pohon Lontar (Borassus flabellifer) adalah sejenis palma (pinang-pinangan) yang tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Pohon Lontar (Borassus flabellifer) menjadi flora identitas provinsi Sulawesi Selatan. Pohon ini banyak dimanfaatkan daunnya, batangnya, buah hingga bunganya yang dapat disadap untuk diminum langsung sebagai legen (nira), difermentasi menjadi tuak ataupun diolah menjadi gula siwalan (sejenis gula merah).
Pohon Siwalan (Lontar) merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat. Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm.
Buah Lontar (Siwalan) bergerombol dalam tandan dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm dengan kulit berwarna hitam kecoklatan. Tiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang berwarna kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras.
Pohon Siwalan atau Pohon Lontar dibeberapa daerah disebut juga sebagai ental atau siwalan (Sunda, Jawa, dan Bali), lonta (Minangkabau), taal (Madura), dun tal (Saksak), jun tal (Sumbawa), tala (Sulawesi Selatan), lontara (Toraja), lontoir (Ambon), manggitu (Sumba) dan tua (Timor). Dalam bahasa inggris disebut sebagai Lontar Palm
Pohon Siwalan atau Lontar (Borassus flabellifer) tumbuh di daerah kering. Pohon ini dapat dijumpai di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di Indonesia, Pohon Siwalan tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi.
Pohon Siwalan atau Lontar mulai berbuah setelah berusia sekitar 20 tahun dan mampu hidup hingga 100 tahun lebih.
Pohon Siwalan (Lontar) merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat. Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas dengan diameter mencapai 150 cm. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm.
Buah Lontar (Siwalan) bergerombol dalam tandan dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm dengan kulit berwarna hitam kecoklatan. Tiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang berwarna kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras.
Pohon Siwalan atau Pohon Lontar dibeberapa daerah disebut juga sebagai ental atau siwalan (Sunda, Jawa, dan Bali), lonta (Minangkabau), taal (Madura), dun tal (Saksak), jun tal (Sumbawa), tala (Sulawesi Selatan), lontara (Toraja), lontoir (Ambon), manggitu (Sumba) dan tua (Timor). Dalam bahasa inggris disebut sebagai Lontar Palm
Pohon Siwalan atau Lontar (Borassus flabellifer) tumbuh di daerah kering. Pohon ini dapat dijumpai di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di Indonesia, Pohon Siwalan tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi.
Pohon Siwalan atau Lontar mulai berbuah setelah berusia sekitar 20 tahun dan mampu hidup hingga 100 tahun lebih.
Sekilas Lontar
Lontar (Borassus Sundaicus Beccari) adalah tanaman penghasil gula paling efisien di dunia. Lontar termasuk tanaman berkelamin ganda. Mayang jantan muncul dari pucuk lontar berupa tunas-tunas bercabang tajam berpasangan. Mayang betina menghasilkan tandan-tandan berisi buah. Buah lontar di luar Rote dan Sabu dikenal dengan nama siwalan, terutama di Jawa. Di Jawa, buah lontar lebih banyak di panen dibandingkan disadap niranya. Sebaliknya buah siwalan jarang ditemui di Rote dan Sabu akibat penyadapan nira yang memotong mayang jantan sehingga tidak menghasilkan buah.
Buah lontar atau siwalan termasuk sulit didapat di Indonesia, kalaupun ada tidak dijajakan secara khusus seperti pada musim buah durian atau rambutan. Buahnya kenyal dan manis hampir seperti kolang-kaling. Di Jakarta setahu penulis siwalan dijajakan di daerah Pasar Baru dan Ancol. Di pasar-pasar tradisional di Jakarta sulit dijumpai penjaja siwalan, terlebih lagi di supermarket. Sebaliknya, kabar dari seorang teman, Thailand malah sudah mengalengkan siwalan sebagai komoditi ekspornya.
Pohon lontar disebut Due dalam bahasa Sabu, buah mudanya disebut Wohiru, dan buah yang telah tua disebut Wokeli. Pengambilan nira adalah proses memotong untaian bunga jantan setahap demi setahap setiap hari. Dalam dua bulan dapat dihasilkan nira sebanyak 3-5 liter, bahkan seorang yang ahli memanen dapat menghasilkan 10 liter perpohon. Penyadap nira yang terampil dapat menyadap dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa ia harus turun dari pohon.
Menurut penelitian James Fox, praktek pengambilan Nira di Rote menghasilkan jumlah nira yang beragam selama satu musim. Namun jumlah nira sangat ditentukan oleh jumlah mayang yang disadap. Sebatang lontar dengan lima mayang mampu menghasilkan 6,7 liter nira sehari atau 47 liter seminggu. Diakhir masa penyadapan sebatang pohon lontar dengan satu mayang masih dapat menghasilkan nira 2,25 liter perhari atau 15 liter seminggu.
Hasil gula nira di Sabu disebut Donahu, sedangkan setelah dimasak hingga menjadi gula padat disebut Domegeru. Cara masak nira orang Sabu dan Rote tidaklah sama. Orang Sabu memasak lebih lama, sehingga gula menjadi lebih hitam dan kental, sedangkan orang Rote memasak nira dengan perubahan hanya 15% saja.
Perbanyakan pohon lontar kebanyakan terjadi secara alami. Biji yang tua dibiarkan di sekitar pohon, lalu terbawa aliran air ketika hujan, atau dibawa hewan liar, dan tumbuh pada tempat-tempat di sekitar kebun. Adapula orang mengambil bibit itu lalu menanamnya ditempat yang ia kehendaki. Pada usia 5 tahun lontar baru siap di panen. Umur pohon lontar sangat panjang. Seorang Sabu yang saya temui, Matheus Liwerohi, mengatakan bahwa ia mewarisi kebun lontar yang telah berusia tiga generasi sejak jaman kakeknya, dan hingga kini masih diambil niranya.
Gula nira kental merupakan bahan pangan yang umum dikonsumsi orang Sabu dan Rote. Jagung atau rebusan daun singkong atau sayur-sayuran lainnya cukup “dicolek” seperti makan lalap dan sambal. Minumnya pun air nira. “Badan jadi sehat dan bertenaga”, kata Matheus menyakinkan saya.
Selain diolah sebagai gula padat, nira juga dibuat minuman tuak atau disebut sopie. Nira dicampur air dan bahan-bahan akar tumbuhan tertentu direndam satu malam dan ditutup rapat agar terjadi fermentasi. Kemudian hasilnya disuling [direbus dalam nyala api kecil dan uapnya dialirkan melalui pipa dan ditampung].
Cuka nira juga dibuat orang Sabu dan Rote. Cara membuatnya lebih mudah lagi. Cukup masukan nira dalam wadah semacam jerigen dan ditutup rapat hingga satu bulan. Cuka nira ini merupakan bumbu yang sedap untuk memasak. Ikan sebelum digoreng cukup dicelup nira. Cuka nira hanya dibuat untuk keperluan memasak keluarga, karena waktu pembuatan yang cukup lama tidak segera menghasilkan uang, bila dibandingkan dengan memproduksi air nira atau gula.
Buah lontar atau siwalan termasuk sulit didapat di Indonesia, kalaupun ada tidak dijajakan secara khusus seperti pada musim buah durian atau rambutan. Buahnya kenyal dan manis hampir seperti kolang-kaling. Di Jakarta setahu penulis siwalan dijajakan di daerah Pasar Baru dan Ancol. Di pasar-pasar tradisional di Jakarta sulit dijumpai penjaja siwalan, terlebih lagi di supermarket. Sebaliknya, kabar dari seorang teman, Thailand malah sudah mengalengkan siwalan sebagai komoditi ekspornya.
Pohon lontar disebut Due dalam bahasa Sabu, buah mudanya disebut Wohiru, dan buah yang telah tua disebut Wokeli. Pengambilan nira adalah proses memotong untaian bunga jantan setahap demi setahap setiap hari. Dalam dua bulan dapat dihasilkan nira sebanyak 3-5 liter, bahkan seorang yang ahli memanen dapat menghasilkan 10 liter perpohon. Penyadap nira yang terampil dapat menyadap dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa ia harus turun dari pohon.
Menurut penelitian James Fox, praktek pengambilan Nira di Rote menghasilkan jumlah nira yang beragam selama satu musim. Namun jumlah nira sangat ditentukan oleh jumlah mayang yang disadap. Sebatang lontar dengan lima mayang mampu menghasilkan 6,7 liter nira sehari atau 47 liter seminggu. Diakhir masa penyadapan sebatang pohon lontar dengan satu mayang masih dapat menghasilkan nira 2,25 liter perhari atau 15 liter seminggu.
Hasil gula nira di Sabu disebut Donahu, sedangkan setelah dimasak hingga menjadi gula padat disebut Domegeru. Cara masak nira orang Sabu dan Rote tidaklah sama. Orang Sabu memasak lebih lama, sehingga gula menjadi lebih hitam dan kental, sedangkan orang Rote memasak nira dengan perubahan hanya 15% saja.
Perbanyakan pohon lontar kebanyakan terjadi secara alami. Biji yang tua dibiarkan di sekitar pohon, lalu terbawa aliran air ketika hujan, atau dibawa hewan liar, dan tumbuh pada tempat-tempat di sekitar kebun. Adapula orang mengambil bibit itu lalu menanamnya ditempat yang ia kehendaki. Pada usia 5 tahun lontar baru siap di panen. Umur pohon lontar sangat panjang. Seorang Sabu yang saya temui, Matheus Liwerohi, mengatakan bahwa ia mewarisi kebun lontar yang telah berusia tiga generasi sejak jaman kakeknya, dan hingga kini masih diambil niranya.
Gula nira kental merupakan bahan pangan yang umum dikonsumsi orang Sabu dan Rote. Jagung atau rebusan daun singkong atau sayur-sayuran lainnya cukup “dicolek” seperti makan lalap dan sambal. Minumnya pun air nira. “Badan jadi sehat dan bertenaga”, kata Matheus menyakinkan saya.
Selain diolah sebagai gula padat, nira juga dibuat minuman tuak atau disebut sopie. Nira dicampur air dan bahan-bahan akar tumbuhan tertentu direndam satu malam dan ditutup rapat agar terjadi fermentasi. Kemudian hasilnya disuling [direbus dalam nyala api kecil dan uapnya dialirkan melalui pipa dan ditampung].
Cuka nira juga dibuat orang Sabu dan Rote. Cara membuatnya lebih mudah lagi. Cukup masukan nira dalam wadah semacam jerigen dan ditutup rapat hingga satu bulan. Cuka nira ini merupakan bumbu yang sedap untuk memasak. Ikan sebelum digoreng cukup dicelup nira. Cuka nira hanya dibuat untuk keperluan memasak keluarga, karena waktu pembuatan yang cukup lama tidak segera menghasilkan uang, bila dibandingkan dengan memproduksi air nira atau gula.
Pasar Menunggu
Pohon aren mudah tumbuh dan menyebar luas di wilayah perbukitan, pegunungan dan lembah. Tidak harus ditanam pada tanah yang khusus dan tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Di Indonesia diperkirakan terdapat sejumlah titik sebaran pohon aren dengan perkiraan areal sekitar 65.000 hektare.
Minahasa merupakan salah satu penghasil nira aren yang tersohor. Apalagi, secara turun temurun masyarakat di Minahasa memiliki keahlian mengolah nira aren menjadi etanol, dengan peralatan sangat sederhana. Etanol yang dihasilkan dari nira aren ini diolah menjadi minuman keras khas Minahasa yang dikenal dengan sebutan "cap tikus".
Hasil uji coba HKTI di Minahasa, dari satu pohon aren (Arenga piƱata) dapat diperoleh sekitar 15-20 liter nira per hari. Satu hektare lahan dapat ditanami sekitar 671 pohon aren, dan setidaknya sebanyak 70 pohon akan berproduksi sepanjang tahun. Sedangkan sisanya, jika dalam satu tahun, satu pohon disadap selama 200 hari, maka total nira yang dihasilkan mencapai 3.000-4.000 liter per pohon. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol diperlukan sekitar 15 liter nira, sehingga setiap pohon aren akan menghasilkan, sekitar 200 liter etanol per tahun. Bila seluruh sebaran pohon aren di Minahasa saja diolah menjadi bioetanol, dalam satu tahun akan dihasilkan setidaknya 400 juta liter bahan bakar yang ramah lingkungan tersebut.
Menurut Prabowo, HKTI akan segera mengembangkan bioetanol dalam skala industri. Mengenai investasi, sejumlah lembaga keuangan internasional telah menyatakan siap membiayai. Untuk membangun satu pabrik bioetanol dengan kapasitas 500 ton per hari diperlukan investasi sekitar US$ 17 juta. "Beberapa investor dari Kanada, Amerika Serikat, dan Brasil siap mendanai. Bahkan, negara-negara itu siap membeli produksi bioetanol kita. Jadi, kalau di dalam negeri tidak ada yang mau membeli, tidak perlu khawatir karena pasar luar negeri sudah menunggu dan siap memborong produk bioetanol kita.
Minahasa merupakan salah satu penghasil nira aren yang tersohor. Apalagi, secara turun temurun masyarakat di Minahasa memiliki keahlian mengolah nira aren menjadi etanol, dengan peralatan sangat sederhana. Etanol yang dihasilkan dari nira aren ini diolah menjadi minuman keras khas Minahasa yang dikenal dengan sebutan "cap tikus".
Hasil uji coba HKTI di Minahasa, dari satu pohon aren (Arenga piƱata) dapat diperoleh sekitar 15-20 liter nira per hari. Satu hektare lahan dapat ditanami sekitar 671 pohon aren, dan setidaknya sebanyak 70 pohon akan berproduksi sepanjang tahun. Sedangkan sisanya, jika dalam satu tahun, satu pohon disadap selama 200 hari, maka total nira yang dihasilkan mencapai 3.000-4.000 liter per pohon. Untuk menghasilkan satu liter bioetanol diperlukan sekitar 15 liter nira, sehingga setiap pohon aren akan menghasilkan, sekitar 200 liter etanol per tahun. Bila seluruh sebaran pohon aren di Minahasa saja diolah menjadi bioetanol, dalam satu tahun akan dihasilkan setidaknya 400 juta liter bahan bakar yang ramah lingkungan tersebut.
Menurut Prabowo, HKTI akan segera mengembangkan bioetanol dalam skala industri. Mengenai investasi, sejumlah lembaga keuangan internasional telah menyatakan siap membiayai. Untuk membangun satu pabrik bioetanol dengan kapasitas 500 ton per hari diperlukan investasi sekitar US$ 17 juta. "Beberapa investor dari Kanada, Amerika Serikat, dan Brasil siap mendanai. Bahkan, negara-negara itu siap membeli produksi bioetanol kita. Jadi, kalau di dalam negeri tidak ada yang mau membeli, tidak perlu khawatir karena pasar luar negeri sudah menunggu dan siap memborong produk bioetanol kita.
Pasokan untuk Dunia
Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Prabowo Subianto, menyatakan, cadangan minyak di perut bumi semakin menipis. Sementara, kebutuhan energi dunia terus meningkat. Sejumlah negara maju yang haus pasokan energi telah mulai menyadari untuk beralih ke bahan bakar nonfosil. Bahan bakar nabati, yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan, menjadi pilihan. Namun, seperti halnya minyak bumi, bahan bakar nabati tidak mudah diperoleh. Negara-negara yang tinggi kebutuhan energinya, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, belum tentu mampu memproduksi bahan bakar yang ramah lingkungan ini. Dari sisi investasi, tak diragukan, tak ada masalah bagi negara-negara maju untuk mengembangkan bahan bakar nabati. Masalah, justru ada pada ketersediaan bahan baku.
Tanaman sebagai bahan baku bahan bakar nabati, seperti kelapa sawit, jarak, jagung, ubi kayu, aren, dan sagu, justru mudah dijumpai di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menyadari potensi tersebut, secara gencar, sejak beberapa tahun lalu HKTI telah mengampanyekan perlunya pengembangan bahan bakar nabati. Organisasi nirlaba ini memilih pohon aren sebagai bahan baku bioetanol.
Sejak tahun 2002, HKTI mengembangkan "perkebunan" aren di beberapa wilayah di Sulawesi. Saat ini, yang telah diuji coba untuk menghasilkan bioetanol baru di Minahasa, Sulawesi Utara.
Menurut Prabowo, dibanding tanaman sumber energi lainnya, pohon aren memiliki lebih banyak keunggulan. "Pohon aren mudah ditemukan, menyebar luas di semua wilayah Indonesia. Pengembangan aren untuk bahan bakar tidak berbenturan dengan kepentingan pangan. Selain itu, produksi bahan bakar dari aren tidak mengganggu aspek lingkungan, karena pohon aren bisa tumbuh berdampingan dengan tanaman lain," kata Prabowo di sela- sela dialog dengan sekitar 1.000 petani di Salatiga, Jawa Tengah, belum lama ini.
Semua bagian dari tanaman aren dapat dimanfaatkan. Bioetanol dihasilkan dari nira atau getah aren. Di Indonesia bioetanol dari aren, sebenarnya telah puluhan tahun dikembangkan. Namun, sejauh ini belum ada yang memproduksinya secara komersial, karena bahan baku yang digunakan juga hanya mengandalkan dari pohon aren yang tumbuh liar.
Tanaman sebagai bahan baku bahan bakar nabati, seperti kelapa sawit, jarak, jagung, ubi kayu, aren, dan sagu, justru mudah dijumpai di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menyadari potensi tersebut, secara gencar, sejak beberapa tahun lalu HKTI telah mengampanyekan perlunya pengembangan bahan bakar nabati. Organisasi nirlaba ini memilih pohon aren sebagai bahan baku bioetanol.
Sejak tahun 2002, HKTI mengembangkan "perkebunan" aren di beberapa wilayah di Sulawesi. Saat ini, yang telah diuji coba untuk menghasilkan bioetanol baru di Minahasa, Sulawesi Utara.
Menurut Prabowo, dibanding tanaman sumber energi lainnya, pohon aren memiliki lebih banyak keunggulan. "Pohon aren mudah ditemukan, menyebar luas di semua wilayah Indonesia. Pengembangan aren untuk bahan bakar tidak berbenturan dengan kepentingan pangan. Selain itu, produksi bahan bakar dari aren tidak mengganggu aspek lingkungan, karena pohon aren bisa tumbuh berdampingan dengan tanaman lain," kata Prabowo di sela- sela dialog dengan sekitar 1.000 petani di Salatiga, Jawa Tengah, belum lama ini.
Semua bagian dari tanaman aren dapat dimanfaatkan. Bioetanol dihasilkan dari nira atau getah aren. Di Indonesia bioetanol dari aren, sebenarnya telah puluhan tahun dikembangkan. Namun, sejauh ini belum ada yang memproduksinya secara komersial, karena bahan baku yang digunakan juga hanya mengandalkan dari pohon aren yang tumbuh liar.
Bioetanol dari Pohon Lontar
Hamparan pohon lontar (Borassus flabellifer) yang ter- dapat di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan beberapa daerah lainnya di Tanah Air, ternyata nilai ekonominya cukup tinggi. Tidak hanya daunnya yang bisa dimanfaatkan untuk atap rumbia atau batangnya untuk bahan bangunan, nira yang dihasilkan lontar, juga sangat besar manfaatnya.
Itulah yang ingin ditunjukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan bekerja sama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rote Ndao, dan Badan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Belu. Upaya kerja sama yang dilakukan adalah pengembangan usaha di bidang produksi bioetanol untuk alkohol medik yang diperoleh dari nira lontar. Kegiatan pengembangan unit usaha produksi bioetanol untuk alkohol medik dari nira lontar bertujuan untuk memproduksi bahan bio medika untuk penyediaan kebutuhan rumah sakit, klinik pengobatan, puskesmas, apotek, laboratorium penelitian, penyedia bahan kimia, dan bioenergi bahan bakar.
Dipilihnya Provinsi NTT sebagai lokasi kerja sama proyek bioetanol dari lontar, karena daerah timur Indonesia itu, selama ini dikenal sebagai daerah yang kaya akan tanaman lontar. Secara tradisional, tanaman ini oleh penduduk setempat dipergunakan sebagai bahan dalam pembuatan minuman beralkohol. Pengetahuan tradisional tersebut merupakan dasar untuk melangkah menuju proses pembuatan bioetanol. "Kami memang memiliki proyek pengembangan bioetanol dari bahan bakar lontar di NTT," ujar Murti Martoyo, Kepala Hubungan Masyarakat LIPI kepada SP, Jumat (31/10).
Itulah yang ingin ditunjukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan bekerja sama Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Rote Ndao, dan Badan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Belu. Upaya kerja sama yang dilakukan adalah pengembangan usaha di bidang produksi bioetanol untuk alkohol medik yang diperoleh dari nira lontar. Kegiatan pengembangan unit usaha produksi bioetanol untuk alkohol medik dari nira lontar bertujuan untuk memproduksi bahan bio medika untuk penyediaan kebutuhan rumah sakit, klinik pengobatan, puskesmas, apotek, laboratorium penelitian, penyedia bahan kimia, dan bioenergi bahan bakar.
Dipilihnya Provinsi NTT sebagai lokasi kerja sama proyek bioetanol dari lontar, karena daerah timur Indonesia itu, selama ini dikenal sebagai daerah yang kaya akan tanaman lontar. Secara tradisional, tanaman ini oleh penduduk setempat dipergunakan sebagai bahan dalam pembuatan minuman beralkohol. Pengetahuan tradisional tersebut merupakan dasar untuk melangkah menuju proses pembuatan bioetanol. "Kami memang memiliki proyek pengembangan bioetanol dari bahan bakar lontar di NTT," ujar Murti Martoyo, Kepala Hubungan Masyarakat LIPI kepada SP, Jumat (31/10).
Hama dan Penyakit
Hama yang banyak menyerang lontar adalah kumbang Orycctes dan Rhynchophorus. Penyakit yang paling berbahaya adalah busuk upih dari jamur Phytophthora palmifora. Gejalanya bercak-bercak pada belaian daun yang menjalar sampai ke tunas. Kemudian tunas akar membusuk. Pohon yang terserang harus segera dimusnahkan dan dibakar untuk menghindari penularan pada pohon yang lainnya.
Panen dan Pemrosesan
Hasil pohon lontar berupa nira dan buah. Dibandingkan pohon jantan pohon betina menghasilkan nira lebih banyak, lebih manis, lebih merah dan lebih kental sehingga lebih cocok untuk pembuatan gula yang berwarna kuning-coklat muda.
Penyadapan nira setelah pohon berumur 25-80 tahun. Bunga yang belum mekar dipancung/ditoreh, kemudian cairan ditampung tabung bambu. Penyadapan pada sore hari lebih baik daripada pagi hari, karena perolehan nira lebih banyak. Nira dimasak sampai menjadi adonan yang kental, diaduk agar tidak gosong, dicetak menggunakan cetakan yang terbuat dan potongan bambu, tempurung kelapa atau cetakan yang lain. Setelah mengental gula dikeluarkan dari cetakan. Selanjutnya dikeringkan.
Hasil nira setiap pohon bervariasi rata-rata 100-160 liter per pohon per tahun. Hasil gula tiap pohon diperkirakan 16-70 kg per pohon per tahun. Bila penanaman bertujuan untuk menghasilkan buah, hasil buah per pohon berkisar 200-350 buah per tahun.
Penyadapan nira setelah pohon berumur 25-80 tahun. Bunga yang belum mekar dipancung/ditoreh, kemudian cairan ditampung tabung bambu. Penyadapan pada sore hari lebih baik daripada pagi hari, karena perolehan nira lebih banyak. Nira dimasak sampai menjadi adonan yang kental, diaduk agar tidak gosong, dicetak menggunakan cetakan yang terbuat dan potongan bambu, tempurung kelapa atau cetakan yang lain. Setelah mengental gula dikeluarkan dari cetakan. Selanjutnya dikeringkan.
Hasil nira setiap pohon bervariasi rata-rata 100-160 liter per pohon per tahun. Hasil gula tiap pohon diperkirakan 16-70 kg per pohon per tahun. Bila penanaman bertujuan untuk menghasilkan buah, hasil buah per pohon berkisar 200-350 buah per tahun.
Perbanyakan dan Pertumbuhan
Perbanyakan dengan biji. Biji Yang besar dan sehat ditanam pada kedalaman 10 cm dan jarak tanam 3-6 m. Biji berkecambah 45-60 hari setelah tanam. Daun payung pertama muncul setelah 9-12 bulan. Pada umur 4-6 tahun, tumbuh roset. Pertumbuhan batang sekitar 30 cm per tahun.
Pertumbuhan daun yang optimal mencapai 14 lembar per tahun, sehingga tajuk dibentuk oleh sekitar 60 daun. Bila lingkugan tidak menguntungkan tajuk hanya memiliki 30 daun.
Pohon tontar berbunga dan berbuah setelah 12-20 tahun, pada musim kemarau. Umur pohon lontar mencapai 150 tahun, yang memiliki nilai ekonomi hanya sampai 80 tahun.
Pertumbuhan daun yang optimal mencapai 14 lembar per tahun, sehingga tajuk dibentuk oleh sekitar 60 daun. Bila lingkugan tidak menguntungkan tajuk hanya memiliki 30 daun.
Pohon tontar berbunga dan berbuah setelah 12-20 tahun, pada musim kemarau. Umur pohon lontar mencapai 150 tahun, yang memiliki nilai ekonomi hanya sampai 80 tahun.
Ekologi
Beradaptasi di daerah kering, curah hujan 500-900 mm per tahun, juga tumbuh di daerah dengan curah hujan per tahun sampai 5000 mm. Tumbuh liar di tanah berpasir, juga tanah yang kaya bahan organik.
Kandungan Kimia
Nira mengandung 17-2011/o bahan kering, pH 6,7-6,9. Setiap liter mengandung protein dan asam amino (360 mg N), sukrosa 13-18%, P. 110 mg, K 1900 mg, Ca 60 mg, Mg 3 0 mg, vitamin B 3,9 TU vitamin C 132 mg, dan abu 4-5 g. Buah segar beratnya sekitar 2790 g (100%) terdiri atas kelopak bunga 175 g (6,3%), sabut 120 g (4,3%), tempurung 66 g (2,4%), daging buah 1425 g (51,0%) dan 3 buah biji beratnya 1004 g (36,0%).
Produksi
Di Sri Lanka dari area seluas 25.000 ha diperkirakan ada 10.000.000 pohon. Sedangkan di India dari luas yang sama terdapat 60.000.000 pohon. Di Myanmar ada 2.500.000 pohon dan di Kamboja pada area tersebut tercatat 1.800.000 pohon. Pada tahun 1968 produksi gula lontar di Kamboja sekitar 10.000 ton per tahun. Di Indonesia sendiri dari luas penanaman sekitar 15.000 ha yang terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura hanya ditemukan 500.000 pohon. Selain itu ada juga perkebunan lontar di Sulawesi, kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan Irian Jaya, tapi tidak diketahui jumlahnya.
Kegunaan
Nira untuk mengobati batuk - berdarah dan disentri, untuk membuat gula palem, dan untuk membuat minuman keras melalui fermentasi (kadar alkoholnya 5-6%). Daunnya dibuat atap rumah, keranjang, sapu, anyaman tikar, bahan bakar, dan pada jaman dahulu digunakan untuk menulis. Tangkai daun dibuat pagar atau bahan bakar. Serat dan muda atau batangnya ditenun menjadi sarung, topi, kotak, tikar, tah, sikat pakfilan dan aneka perhiasan. Batangnya kuat dan lurus dibuat bahan bangunan dan jembatan. Umbutnya sebagai sayur atau dimakan mentah rasanya manis segar. Bagian dalam batang atas mengandung tepung dibuat makanan kecil. Buah yang masak dikeringkan ditambah tepung beras untuk membuat kue dan selai. Di Makasar akar kecambah lontar berukuran sebesar jari digoreng atau direbus. Di Myanmar dan Kamboja tanaman lontar dimanfaatkan sebagai tanaman penahan angin atau tanaman pembatas.
Asal-usul Tanaman Lontar
Pohon lontar atau siwalan berasal dari India kemudian tersebar sampai ke Papua Niugini, Afrika, Australia, Asia Tenggara dan Asia tropis. Tanaman ini tumbuh melimpah di India, Myamnar dan Kamboja. Pohon berbatang lurus, tidak bercabang, tinggi 15-40 m. Kulit luar batang hitam seperti tanduk dengan urat bergaris-garis kuning. Tajuk tinggi mencapai 4 m. Tangkai daun sampai 1 m, pelepah lebar, bagian atas hitam, dengan duri tempel pada tepinya. Helaian daun bulat, berdiameter 1-1,5 in, bercangap menjari. Tangkai tongkol bunga sampai 0,5 m, membengkok, panjang bulir 20-30 cm. Buah bulat peluru, diameternya 7-20 cm, berat 1,5-2,5 kg, ungu tua sampai hitam.
Langganan:
Postingan (Atom)